Sudah berlangganan artikel blogdahsyat dengan RSS Feed?

15 Maret 2009

Kisah 3 Pangeran

Once upon a time in the far far away kingdom...
Tidaaakkkkk! Pokoknya itu tidak adil!" seru Pangeran Pertama.
"Tidaaakkkkk! Semuanya penipu!" teriak Pangeran Kedua.
"Curang! Semua yang ada di sini curang, tidakberperikemanusiaan!" sahut Pangeran Ketiga.
"Kamu, Pangeran Ketiga! Anak kecil, kamu tahu apa? Kamu hanya mau mendapatkan apa yang bukan jatahmu! Dan, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi selama hidupku!"
Demikian sergah Pangeran Pertama, kali ini seraya membetulkan posisi mahkotanya yang setengah miring di atas kepalanya yang botak. Pangeran Kedua melihat mereka berdua dan
mengernyitkan dahi, lalu membuka mulutnya yang besar dan berteriak, "Kamu juga jangan sok tahu, kamu pikir kamu sebagai pangeran paling tua, kamu akan mendapatkan
segalanya?" Pangeran Ketiga yang sesungguhnya sudah berumur 21 tahun, tatkala melihat kedua kakaknya bertengkar hebat, langsung berjongkok dan menutupi wajah dengan jubahnya.



Walaupun paras bundarnya itu tertutup, isak tangisnya masih
terdengar ke luar. "Arghhh! Ini lagi! Dasar cengeng! Kamu sebaiknya
jangan menjadi anak raja, tapi jadi anak babi, tahu?!" cetus
kedua kakaknya serempak seolah sudah berlatih sebelumnya.
Lalu, tiba-tiba pintu besar istana terbuka. Tampaklah
seorang bertutup kepala biru yang tampaknya kebesaran
untuk ukuran kepalanya. la berjanggut lebat berwarna putih,
tubuhnya diselubungi sepasang sayap berwarna biru muda.
la masuk dengan diiringi sekitar 20 tentara yang tampak jelas
kerepotan dengan tombak-tombak mereka yang
kepanjangan.
"Aduh, hati-hati dong membawa tongkatrnu!" kata salah
seorang pengawal yang kepalanya baru saja tersundul dari
belakang.

"Diaammm!" teriak orang bertutup kepala biru
tersebut. Semua orang serentak terdiam. Orang itu pun
melangkah maju seorang sendiri, tanpa sadar kalau para
pengawalnya terdiam di tempat dan tidak ikut ber jalan maju.
Lalu, mendadak ia berhenti. Demi merasakan ada yang tidak
beres, ia menoleh ke belakang. Ketika melihat semua
pengawalnya membeku di tempat, ia berseru marah,

"Dasar goblok! Siapa yang suruh kalian diam? Maju
sini! Jangan cerewet! Bukannya diam di tempat, tolol!"
Para pasukan kembali terkejut. Kalang kabut dengan
tongkat-tongkat mereka yang kepanjangan, mereka pun
segera berlari maju. Dan... berhenti tepat 5 cm di belakang
pria bersayap biru itu!
"Wah, sekarang ada apa lagi? Mengapa Penasihat
Kerajaan datang kemari?" tanya Pangeran Pertama. la
berkata sambil membungkukkan tubuh dan
menyunggingkan seulas senyum, mengejek si orang
berpenampilan serbabiru.
"Eh, memangnya kita harus membungkuk, ya, kalau
dia datang?" tanya Pangeran Ketiga seraya berbisik pada
Pangeran Kedua.
"Tidak, goblok! Pangeran Pertama cuma ingin meledek
dia saja. Dasar, gendut telmi!" jawab Pangeran Kedua ketus.
"Eh, apa itu telmi?" tanya Pangeran Ketiga lagi.
"Rasanya kalian bertiga ini memang perlu sebuah aturan
dan pendidikan yang baku di bangku sekolah kerajaan...."
ujar si Penasihat Kerajaan.
"Hei! Jaga kata-katamu, Penasihat Kerajaan!" sergah
Pangeran Kedua.

Orang serbabiru itu tidak berkata apa-apa. la hanya
menarik napas panjang, menebah dada, lalu berkata, "Kalau
saja ayah kalian masih hidup."
Pangeran Ketiga lalu mendekati Pangeran Pertama dan
bertanya, "Memangnya Ayahanda di mana?"
"Mati, bodoh! Ayahanda sudah meninggal! Berapa kali
lagi kita harus menjelaskan pada orang tolol ini kalau orang
mati tidak bisa hidup kembali?" la berseru keras. Tubuhnya
yang kurus tinggi sedikit oleng tatkala ia harus membetulkan
kembali letak mahkota di atas kepalanya yang botak dan
licin.

"Dia mirip kamu...," balas Pangeran Kedua yang juga
tinggi kurus namun berambut panjang bak seniman
kampung.
"Apa kamu bilang?! Jangan sekali-kali kamu samakan
aku dengan kodok buduk ini!"
Pangeran Pertama tiba-tiba saja meloncat, menubruk
Pangeran Kedua hingga jatuh terpental. Mereka pun saling
pukul dan Pangeran Ketiga kembali berjongkok menutupi
wajah dengan jubahnya. Ia menangis, kali ini meraung-raung.
Demi melihat perkelahian itu, si Penasihat Kerajaan
hanya bisa menghela napas, sementara para prajurit tampak
kesulitan menahan tawa.

Kerajaan antah-berantah itu terletak di sebuah daerah yang
amat luas, dengan kekayaan yang melimpah dan diperintah
oleh seorang raja yang bijaksana. Sang Baginda Raja
mempunyai 14 istri dengan hanya tiga orang anak.
Sayangnya, ketiga putra tersebut tidak mewarisi sifat-sifat
ayah mereka.

Tiga hari yang lalu, Sang Baginda Raja yang terkenal
keperkasaannya itu secara mengejutkan wafat di atas
ranjangnya. Menurut para tabib kerajaan yang datang
memeriksa, Sang Baginda Raja terkena serangan jantung yang
langka dan belum ada obatnya pada zaman itu. Sang Baginda
Raja kemudian dknakamkan tak jauh dari istana, di
pemakaman raja-raja. la meninggalkan warisan harta benda
yang sangat banyak, ribuan hektar tanah, emas, dan berlian.
Namun sayangnya, bukan otak dan kepandaiannya yang ia
wariskan...

"Ayah kalian meninggalkan berbagai warisan yang sudah
diatur sedemikian rupa, dan kalian harus menuruti..."
Orang berpenampilan serbabiru itu tiba-tiba menyeletuk
sendiri, tidak sabaran melihat kelakuan bodoh ketiga
pangeran tersebut.
"Mana bisa begitu, semuanya tidak adil!" sentak
Pangeran Pertama yang kini sibuk mencekik Pangeran Kedua
yang tertelentang di bawahnya.

"Semua ini tidak terjadi kalau orang tolol ini mau adil!"
timpal Pangeran Kedua yang sejak tadi menarik-narik telinga
Pangeran Pertama ke atas dan ke bawah.
Pangeran Ketiga masih saja berjongkok, terus menangis
dan mengusap hidungnya.
"Kalian harus lebih bisa mengendalikan diri," ujar si
Penasihat Kerajaan yang ternyata juga mengenakan sepatu
berwarna biru, seraya kembali menarik napas.
Para prajurit semakin kesulitan menahan tawa.
"Sebenarnya apa yang kalian ributkan di sini?" tanya si
Penasihat Kerajaan.

"Aku tidak suka dengan cara Ayahanda membagi
bongkahan berliannya untuk kami bertiga..." jawab
Pangeran Pertama. Kali ini ia sudah berdiri tegak, dan lagilagi
membetulkan letak mahkotanya yang miring. Pangeran
Kedua sengaja berdiri di belakang seraya mengacungacungkan
jari tengahnya ke arah Pangeran Pertama.

"Yah, terserah kalian mau ngomong apa. Namun, itu lah
yang ada di surat wasiat Ayahanda kalian." Tukas si Penasihat
Kerajaan yang berpenampilan serba biru itu.
Suasana mendadak hening sejenak. Kemudian si
Penasihat Kerajaan mengambil selembar kertas yang
tergulung bak teropong, membukanya, dan membacanya,
"Dengarkan ini. Ini adalah cara pembagian berlian
untuk kalian bertiga. Saya rasa pembagian yang lain sudah
tidak ada masalah lagi, bukan? Hanya soal pembagian
berliannya saja."
"Ya, memang begitu." kata Pangeran Ketiga cepat,
sambil mengintip dari balik jubahnya.
"Diam!" Sergah kedua pangeran dan si Penasihat
Kerajaan dengan kompaknya.
Pangeran Ketiga kembali meraung sambil menudungi
kepalanya dengan jubah.

Penasihat Kerajaan berkata, "Hm... demikian pesan
Sang Baginda Raja: 'Anak-anakku, apabila orang yang
senantiasa berpakaian serbabiru itu membacakan surat ini,
berarti Ayahanda kalian kini telah mangkat. Janganlah kalian
bertiga bersedih hati. Walaupun Ayahanda tahu bahwa itu
tidak mungkin, dan sebagai seorang ayah, tentu Ayahanda
sangat mencintai kalian bertiga ....'"

"Hik...."
"Diam!" Serentak kedua pangeran yang lebih tua dan
si Penasihat Kerajaan berteriak kembali kepada Pangeran
Ketiga yang tak kuat menahan rasa harunya mendengar
pesan terakhir Ayahandanya.
"Mari kita sambung lagi," ujar si Penasihat Kerajaan.
'"Oleh karena Ayahanda sangat mencintai kalian
bertiga, Ayahanda akan memberi kalian bertiga warisan
sebagai berikut, bla... bla... bla ....' Kita langsung saja ke
bagian pembagian bongkahan berlian, oke?" Tanya si
Penasihat Kerajaan.
"Ya, cepat, cepat!" Balas Pangeran Kedua.

"Oke, kita mulai lagi. 'Dan setelah itu, bongkahan
berlian juga akan dibagi di antara kalian bertiga dan Penasihat
Kerajaan.' Hm... itu artinya saya juga mendapat bagian."
"Cepat!" Kali ini ketiga pangeran yang berteriak.
"Oke,oke..., begini lah pembagiannya: 'Kerajaan
mempunyai 36 bongkah berlian sebesar kepala rusa, di mana
semua bongkahan akan dibagi menjadi empat bagian yang
adil menurut saya sendiri. Untuk Penasihat Kerajaan
diberikan hanya satu bongkah. Itu berarti sisanya yang 35
bongkah berlian untuk ketiga pangeran.'" Semua terdiam
sebentar.

"Semua 35 bongkah berlian itu, dibagi seperti ini:
1.1/2 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran
Pertama.
2. 1 /3 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran
Kedua.
3. 1/9 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran
Ketiga.

Demikianlah keputusanku sebagai Sang Baginda Raja yang
adil dan bijaksana. Wassalam...."
"Nah! Itu yang namanya tidak adil. Bayangkan saja kalau
aku mendapatkan setengah dari 35 bongkah itu. Bukankah
hasilnya adalah 17,5 bongkah? Mana mungkin bongkahan
berlian itu dipotong setengah? Tidak masuk di akal bukan?
Oleh karena itu, aku menuntut agar mendapat 18 bongkah!"
cetus Pangeran Pertama.
"Itu akal bulus Pangeran Pertama, bukankah begitu
Penasihat Kerajaan? Kalau ia menghendaki 18 bongkah,
maka saya yang mendapatkan sepertiga bagian dari 35

'Tapi, kalau itu bisa menyelesaikan masalah kenapa tidak
kita coba saja?" Tiba-tiba Pangeran Ketiga yang sedari tadi
mendengarkan sambil mengunyah cokelat berbicara.
"Diaammmm!" Kini ada sekitar 43 orang yang serentak
berteriak.
Pangeran Ketiga pun menyembunyikan kepalanya dan
terus mengunyah cokelat di balik jubahnya.
"Ini harus segera diselesaikan!" Pangeran Pertama
berdiri dan mendongakkan dagunya, mencoba tampil sedikit
berwibawa. Sebaliknya, ia malah tampak memalukan karena
terus bergulat membetulkan mahkotanya yang kini menutupi
matanya.

Tetua Keempat kemudian ikut berdiri dan berkata,
"Ugh, sebenernya seh ini semua... ugh, urusan Penasihat
Kerajaan, kenapa bukan dia ajah yang ngurus, ugh...."
Tetua Keenam menimpali, "Yo... betul yo...."
Ruang rapat kini bak ruang debat kusir.... Semua ingin
berpendapat, semua berdiri, semua berteriak. Bahkan,
Pangeran Ketiga ikut-ikutan berdiri, melihat semuanya yang
terjadi, mengepalkan tangannya, dan menangis lagi....

Hari terus berganti hari. Kali ini si Penasihat Kerajaan, yang
ternyata bermata biru senada dengan pakaiannya, lebih
pusing dari hari-hari biasanya. la kini ditunjuk oleh dewan
yang beranggotakan ketiga pangeran, 14 permaisuri, dan
banyak tetua untuk menjadi penanggung jawab surat wasiat
Sang Baginda Raja.
Kini, setiap hari ia mengurung diri di dalam kamarnya,
sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan. Janggutnya
semakin tipis. Dikarenakan stres berat, ia terus menarik-narik
janggutnya.

"Apa yang harus kulakukan?" Ia bergumam sendiri.
"Kalau aku memanggil Divka, mungkin segalanya akan
menjadi tenang. Tapi, mungkin juga malah memperburuk
keadaan. Kalau aku mencoba menyelesaikannya sendiri...
bagaimana caranya?"

Sementara itu, nun jauh di suatu tempat, ada sebuah
rumah tua yang bentuknya seperti sebuah jamur raksasa.
Dari luar terlihat jelas kalau itu adalah rumah yang sudah
tidak terurus. Sebelum dapat masuk ke dalam, Anda harus
lebih dulu melewati ilalang yang tingginya hampir selutut.
Ada sebuah jalan setapak yang terbuat dari batu kali
yang dipasang secara serampangan. Jalan kecil itu langsung
mengarah ke pintu depan rumah. Di pinggiran jalan tampak
berbagai macam tumbuhan yang tidak jelas rupanya, dan
tidak jelas pula namanya

Daun pintu rumah itu mungkin terbuat dari kayu jati
yang sudah berusia ratusan tahun, miring, dan tidak pernah
terkunci. Lagi pula siapa yang berani masuk ke dalam rumah
Divka?
"Tolong... jangan... ampun!" teriak seorang pria yang
kedua tangannya terikat di bagian belakang kepalanya,
sementara kakinya terikat ke sebuah kursi. Pria itu duduk
tanpa daya.
"Bagaimana bisa jangan? Kan itu termasuk dalam
perjanjian kita!" Sambut seorang gadis muda yang amat
cantik. Wajahnya putih halus, hidungnya bangir bagaikan
lereng gunung dengan lekukan tajam, dan dagunya yang
panjang menunjukkan keteguhan yang sempurna. Anak
matanya berwarna cokelat, lancip wajahnya diselimuti oleh
rambut hitam panjangnya.

"Tapi, aku pikir kau bercanda," ujar pria itu lagi sembari
menutup mata. Rupanya ia sudah tak berdaya. Badannya
yang kekar dengan rambut cepak tidak menambah
kegagahannya dalam posisinya yang memelas saat ini.
"Heh! Memangnya aku pernah bercanda? Memangnya
aku terkenal karena aku suka bercanda?" Sergah wanita muda
itu. Tubuhnya yang tinggi langsing dengan lekukan indah
dan terbungkus pakaian ketat serba hitam itu berjalan
memutari pria tersebut, perlahan-lahan. Ia seolah menikmati
apa yang sedang dilihatnya. Sesekali sayap hitamnya dikibaskibaskan
untuk menggoda pria tersebut.

"Tapi... aku tidak mau...."
"Lalu, bagaimana dengan perjanjian kita?"
"Batalkan saja!"
"Enak saja! Kau pikir bisa begitu saja berjanji pada
wanita, lalu menariknya kembali? Dasar pria!" Divka berjalan
menghampirinya. Pria itu menutup matanya kembali dan
mengulum bibirnya masuk ke dalam. Tubuh besarnya ditarik
sedemikian rupa, memepetkan dirinya yang sudah terikat
lebih masuk lagi ke dalam sandaran kursi.
"Jangan... jangan cium aku...," pintanya memelas.
Divka menghampirinya, menutup matanya, memegang
kedua sisi sandaran kursi tersebut, dan sedikit
membungkukkan tubuh eloknya. Sayap hitamnya sebagian
menyentuh tanah dan menutupi kedua kakinya yang
tertekuk, kemudian maju mendekat. Ia menempelkan
bibirnya pada mulut pria yang sedang berusaha
menyembunyikan bibirnya itu. Mengecupnya.
Mendadak terdengar bunyi, "ZZZZZ... Kabuum...!"

"Krookk... Krooook!"
Divka kembali berdiri dan tersenyum simpul. la melihat
ke bawah. Tangan kanannya terjulur ke atas bantalan kursi
dan mengambil kodok hijau yang lumayan besar itu seraya
berkata, "Lain kali kalau berjanji pada wanita harus tepat
waktu, ya, sayang. Masa aku harus menunggumu lebih dari
15 menit? Kamu kan harusnya tahu aku tidak suka pria yang
tidak tepat waktu."

"Kroook!" Kodok hijau itu menjawab.
Dengan enteng Divka membawanya masuk ke dalam
sebuah ruangan. Bagian dalamnya tampak lebih kotor dari
ruang sebelumnya. Di sana terdapat sebuah meja yang amat
besar, dihiasi tumpukan buku yang berserakan memenuhi
bagian atasnya. Sebagian terbuka dan sebagian tertutup.
Buku-buku kuno nan tebal itu berisi ribuan mantra yang
Divka pelajari selama 400 tahun terakhir ini. la lalu berjalan
menuju sebuah sudut. Di sana terdapat sebuah kolam yang
lumayan besar, dihiasi bebatuan dan beberapa jenis
rerumputan. Dengan gerakan cepat, dilemparkannya kodok
tersebut ke dalam kolam.

"Byur!" Seketika itu juga kodok-kodok lain keluar. Ada
sekitar 40 kodok di dalam sana, seakan serempak keluar
untuk memberikan sambutan, "Krook...krok! Krook!"
Mereka seolah sedang mengobrol.
"Sudah! Tinggal saja di sana bersama teman-temanmu.
Heran, mengapa semua pria sama saja!" ujar Divka sembari
keluar dan membanting pintu, membiarkannya gelap tanpa
secercah cahaya pun.

"Ada yang tahu Ayahanda di mana?" Tanya Pangeran
Ketiga yang sedari tadi berputar-putar di koridor kerajaan.
Kali ini ia menanyai seorang prajurit yang kebetulan sedang
berjaga di sana dengan tongkat panjangnya.
"Kamu tahu Ayahanda di mana?" Ulangnya lagi.
Prajurit itu melihatnya dengan tatapan sedikit bingung.
Tubuhnya yang kecil ditegak-tegakkan, tampak jelas bingung
hendak menjawab apa.

"Tidak, Pangeran. Hamba tidak tahu." Akhirnya ia
berhasil menjawab.
"Eh, kamu sedang repot tidak?"
"Ya, Pangeran. Hamba sedang repot, Pangeran,"
jawabnya tergesa-gesa.
"Mau menemaniku?" Tanya Pangeran Ketiga.
"Kee... ke mana?"
"Mencari Ayahanda!"
"Di mana Pangeran?"
"Kalau aku tahu, aku bisa cari sendiri!" Kata Pangeran
Ketiga ketus.
Penjaga itu diam dan berpikir. Ada yang salah di sini
dan yang pasti itu bukan dirinya. Berdiri tegak menjaga
koridor memang bukan pekerjaan yang mengasyikkan.
Namun, menemani Pangeran Ketiga berjalan mencari Sang
Baginda Raja adalah pekerjaan yang akan menghabiskan
waktunya hingga esok pagi.

"Tidak bisa, Pangeran, nanti Penasihat Kerajaan bisa
marah!" Si Penggawa pun memutuskan untuk menolak.
"Bilang saja aku yang menyuruh kamu. Ayo, ikut!"
Tangan Pangeran Ketiga langsung menyambar pergelangan
tangan kiri si Penggawa.
Mereka berjalan beriringan hingga matahari
terbenam ....

"Dong... dong... dong...," jam kukuk berdentangsebanyak
11 kali, menunjukkan hari sudah larut, pukul 11 malam. Dan,
ruang rapat kini kembali dipenuhi para tetua, Pangeran
Pertama, Pangeran Kedua, dan Penasihat Kerajaan beserta
14 permaisuri raja.

"Ugh, jadi bagaimana neh?" Tetua Keempat membuka
percakapan.
Semua terdiam melihat Penasihat Kerajaan yang sedang
berdiri tepat di depan sudut meja. Penasihat raja yang masih
berpenampilan serbabiru itu tampak berdiri sedikit
menunduk. Kedua tangannya terkepal menempel di sisi atas
meja, kepalanya tertunduk diam, mungkin sedang berpikir.
Pangeran Pertama tiba-tiba berdiri dari kursinya, berdiri
tegak mendongak sembari membetulkan mahkotanya yang
hampir jatuh ke belakang la menatap si Penasihat Kerajaan
dan berkata,
"Sampai saat ini kita tidak bisa menemukan Pangeran
Ketiga. Menurutku akanlah sangat adil kalau bagian berlian
dia diambil untuk menyelesaikan masalah ini!"
"Aku sudah bilang tidak bisa begitu caranya! Lagi pula
aku sudah mengambil sebuah keputusan...." Penasihat
Kerajaan menjawab. Tangannya terangkat dari meja. la pun
mendongak seperti Pangeran Pertama dan berjalan mengitari
meja besar yang berbentuk persegi panjang itu.
Suasana menjadi hening, semua orang menanti....

Setelah berputar dan kembali ke tempamya semula, si
Penasihat Kerajaan lalu berdiri membelakangi meja dan
semua yang hadir di sana. Tangannya terlipat. Dengan suara
pelan ia berkata, "Kita akan memanggil Divka...."

"Arrrrrgggggghhhhh!" Serentak semua orang yang
hadir di ruang rapat berteriak. Pangeran Kedua jatuh dari
kursinya dan terjerembap ke belakang. Para tetua berbicara
sendiri-sendiri sembati menunjuk-nunjuk si Penasihat
Kerajaan dan para permaisuri menangis meraung-raung. Tapi
ada satu orang yang tampak senang, ia adalah Permaisuri
Kesebelas. Seulas senyum tersungging di bibirnya.

"Itu adalah keputusan akhirku sebagai Penasihat Raja,
jadi tidak boleh diganggu gugat!" ujarnya tanpa membalikkan
tubuh, tetap membelakangi semua orang. Matanya sesekali
berusaha melirik ke kanan dan ke kiri untuk mengamati reaksi
mereka, namun ia mencoba untuk terlihat berwibawa,
walaupun ia sendiri bingung.
Suasana semakin tegang. Semua orang saling
menyalahkan dan Penasihat Kerajaan bersikukuh dengan
keputusannya.
"Brakkk!"
Mendadak pintu ruang rapat terpentang lebar.

Tampaklah Pangeran Ketiga yang berjalan sedikit
sempoyongan seperti orang yang baru menyelesaikan lari
maraton. Keringat mengucur deras dari kepalanya dan air
matanya mengalir deras membasahi kerah jubahnya yang
berwarna merah muda. Di belakangnya terlihat penggawa
penjaga koridor tadi tengah menumpukan bobot tubuhnya
pada tongkat panjang yang dipegangnya. Ia pun tampak jelas
keletihan dan napasnya terputus-putus.
"Aa... aaku punya kabar buruk untuk kalian
ssee... seemuaa...." Ujar Pangeran Ketiga sembari menahan
air matanya.
Semua yang hadir terpaku melihatnya. Pembicaraan
terhenti dan semua menunggu.
"Kk... kkalian haa... haarus tahu ini...." Pangeran
Ketiga berusaha berbicara kendati airmatanya seolah tak
terbendung lagi.
"Sse... seetelah aku selidiki... aa... aaku pikir, aa...
aaku pii... ppiikir, Ayahanda mungkin sudah meninggal!"

Beberapa hari setelah rapat akbar itu digelar, perintah untuk
menjemput Divka pun dikeluarkan oleh Penasihat Kerajaan.
Lebih kurang 120 prajurit terbaik ia perintahkan untuk segera
menyambangi tempat tinggal Divka. Mereka ditugasi untuk
memboyong gadis muda itu ke istana guna membantu
menyelesaikan masalah pembagian bongkahan berlian
warisan Sang Baginda Raja.

"Oke, sekarang siapa yang akan pertama-tama masuk
ke dalam rumahnya?" Tanya Kepala Prajurit yang
berjongkok di antara ilalang, masih jauh dari kediaman Divka
yang tak terawat.

Tidak terdengar suara sedikit pun. Para prajurit hanya
berdiam diri dan tetap berjongkok seperti yang dilakukan
komandannya. Mereka semua tampak pucat lesi, menahan
sakit perut masing-masing. Tak seorang pun berani
berhadapan dengan wanita penyihir tersebut. Walaupun jarak
mereka dengan rumahnya masih sekitar satu kilometer, rasa
jeri sudah menghantui mereka semua.

"Kalau tidak ada yang maju, saya akan menunjuk salah
satu dari kalian!" Putus si Kepala Prajurit.
Para prajurit semakin terdiam. Kali ini mereka semua
menundukkan kepala, bahkan ada yang berusaha berjalan
jongkok, mundur perlahan-lahan. Ada yang merebahkan

dirinya agar luput dari pengamatan sang komandan. Ada
pula yang komat-kamit mengucapkan doa.
"Dasar! Kalian pengecut semuanya! Kalau saja aku
bukan kepala prajurit dan tidak bertanggung jawab untuk
membawa berita acara nanti malam bagi Penasihat Kerajaan,
aku pasti sudah menjadi orang pertama yang berjalan masuk
ke dalam rumah itu!" Bentak si Kepala Prajurit yang
mendadak berdiri dan menatap tajam para prajuritnya yang
kini lebih menundukkan kepala lagi.

Tiba-tiba saja ada sekelebat bayangan kecil yang
meloncat di belakang si Kepala Prajurit, menabrak sebuah
pohon dan menimbulkan bunyi keras.
"Argghh, ampun! Tolong, jangan...." Seru si Kepala
Prajurit seraya menekukkan tubuhnya dalam posisi jongkok
dengan kedua tangan menudungi kepala.
"Eh, komandan, itu tadi tupai ...." Ucap Prajurit
Keenam Belas yang kebetulan berada di posisi paling depan.
"Saya tahu!" Balas si Kepala Prajurit ketus, sembari
berdiri kembali. "Itu tadi hanya ejekan untuk kalian saja,
huh!" Lanjutnya, berusaha membetulkan reaksinya. Namun,
wajah pucatnya masih terlihat jelas dan sukar disembunyikan
begitu saja. Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang, ingin
memastikan bahwa itu tadi memang hanya seekor tupai.

"Kamu!" Katanya mengejutkan dengan telunjuk
teracung ke arah Prajurit Keenam Belas.
"Masuk ke dalam rumah Divka sekarang juga!"
Perintahnya.
Prajurit Keenam Belas mendongak, matanya melotot
bagai baru melihat hantu. Mulumya ternganga tidak percaya.
"Kok saya? Kenapa saya ...." Tanyanya.
"Diam! Jalankan perintah! Apa susahnya, sih? Kamu
tinggal masuk dan mengatakan bahwa Divka diminta untuk
bertamu ke kerajaan. Itu saja!" Potong si Kepala Prajurit
dan bertolak pinggang.
"Kalau begitu, kenapa bukan komandan saja?" Omel
si prajurit.

Sementara itu, Divka tengah sibuk menghafalkan
mantra-mantra barunya. la duduk di sebuah kursi kayu
berwarna cokelat tua yang terletak di depan sebuah perapian.
Kedua kakinya dinaikkan ke atas meja yang penuh sesak
dengan buku-buku. Mulutnya komat-kamit, sementara
tangan kanannya bergerak-gerak di udara bak mernimpin
sebuah orkestra.

"Koleadiosipriska!" Teriaknya serentak mengacungkan
tangannya ke arah sebuah lukisan di dinding batu yang berada
di sisi kanannya.

"Kabuum!"

Lukisan kucing hitam itu tiba-tiba bergerak sendiri.
Kucing itu kemudian meloncat keluar dari lukisan dan
mengeong di atas lantai. la menjadi kucing hidup.
"Tok, tok, tok...." Terdengar oleh Divka suara pintu
diketuk dari luar.
la tetap diam membaca bukunya. Dengan acuh tak acuh
ia bergumam, "Masuk!"
Pintu terbuka. Prajurit Keenam Belas melongok ke
dalam, sementara para prajurit lain dan komandan mereka
tetap menunggu di kejauhan. Sambil berharap-harap cemas
mereka melihat apa yang akan terjadi sambil bersembunyi
"Eh, selamat siang...," kata Prajurit Keenam Belas
seraya beringsut masuk ke dalam ruang tersebut. Kepalanya
menunduk, tangannya gemetaran sedangkan kedua lututnya
saling beradu.

"Malioscipkas!" Divka kembali mengayunkan
tangannya, namun kali ini ditujukan pada prajurit malang
itu. Seketika kepulan asap keluar dari sekeliling Prajurit
Keenam Belas. Wajahnya yang ketakutan menengok ke
kanan dan ke kiri, tetap menggenggam erat tongkatnya yang
terus goyah. Asap putih itu tiba-tiba masuk seolah tersedot
ke dalam tubuhnya dan ....

"Klontang!" Suara tongkat terjatuh pun terdengar keras.
Sekejap mata, pintu rumah terbuka kembali dan seekor
babi mungil berwarna merah muda menggunakan topi
prajurit keluar dari rumah itu. Si babi berjalan cepat dengan
mengegal-egolkan ekor kecilnya menuju tempat
persembunyian para prajurit lain.

Begitu lah... hari terus bergulir. Tibalah sore hari.
Rombongan prajurit tersebut akhirnya berhasil membawa
Divka dengan menandunya ke kerajaan. Turut meramaikan
rombongan itu, seekor babi kecil nan montok, empat ekor
monyet, dua ekor ayam, dan 13 kodok. Semuanya masih
mengenakan topi prajurit.

Singkat cerita, pintu ruang rapat dibuka kembali. Banyak
orang ada di dalam, termasuk si Penasihat Kerajaan, para
permaisuri, para tetua, dan ketiga pangeran. Tapi, ada yang
sedikit berbeda di sana. Divka juga di sana!

"Kami membutuhkan bantuanmu...," ujar Penasihat
Kerajaan, memulai percakapan.
Semua orang yang hadir saat itu tidak dapat melepaskan
pandangan mereka dari Divka. Wanita cantik penyihir itu
duduk di salah satu kursi rapat, seperti biasa ia duduk sambil
mengangkat kaki. Karena tidak ada yang mau duduk dekatdekat
dia, Divka mendapat ruang yang membuatnya leluasa.

Di hadapannya ditempatkan berpuluh-puluh kursi yang
didempetkan menjadi satu, yang diisi oleh para peserta rapat.
Tanpa peduli Divka duduk santai sembari memain-mainkan
tongkat kayunya yang berukuran sekitar setengah meter.
Setiap kali ia mengangkat tongkat itu, semua kepala yang
ada di depannya menunduk ketakutan karena mereka percaya
tongkat itu adalah tongkat sihir. Tentu mereka enggan
mengalami nasib yang sama dengan prajurit-prajurit yang
datang menjemputnya.

"Ehm... kami memerlukan bantuanmu...," ulang si
Penasihat Kerajaan, memberanikan diri menghampiri Divka
dan menarik kursi untuk duduk di sampingnya.
"Ya, aku mendengar." Balas Divka. Ia terus memutarmutar
tongkataya. Alhasil, semua orang di depannya serentak
menundukkan kepala, menghindari arah putaran tongkamya.
Keributan kecil pun terjadi. Kepala Pangeran Ketiga
terbentur meja pada saat ikut-ikutan menunduk. Dan, seperti
biasa ia mengerang-erang kesakitan.

"Heh! Lucu juga, ya, si Bego itu...," bisik Divka kepada
si Penasihat Kerajaan seraya menunjuk kearah Pangeran
Ketiga.
"Ya, saya tahu. Itu juga permasalahan lain. Namun, kami
punya sebuah masalah yang sangat mendesak dan kami ingin
meminta Anda membantu kami untuk menyelesaikannya...,"
jelas Penasihat. Kali ini matanya melotot pada
Pangeran Ketiga, mengisyaratkan dia agar diam.
"Apa? Dan, kalau saya bisa membantu kamu, apa yang
saya dapatkan?"

Divka pun menolehkan wajah tirusnya ke arah Penasihat
Kerajaan. Tongkat kayunya diangkat dan ditempelkan pada
dagu si Penasihat Kerajaan. Mendorong dagu itu ke atas.
"Eh, sebuah penghargaan dari kerajaan... dan kami
berjanji tidak akan menjelek-jelekkan nama Anda di belakang
Anda lagi." Penasihat menjawabnya dengan mata melirik ke
bawah karena kini wajahnya terangkat tinggi oleh tongkat
Divka.

"Oh, berarti kalian sering menjelek-jelekkan aku selama
ini, toh?"
Tongkatnya dilepaskan dari dagu si Penasihat Kerajaan
dan diacungkannya dari kiri ke kanan, menunjuk semua yang
hadir di sana. Lagi-lagi kepala Pangeran Ketiga terbentur
meja di depannya.
"Terima kasih, aku suka pujian semacam itu. Semakin
banyak kalian menghina aku, semakin aku senang! Nah,
anggaplah kalau memang aku ingin membantu kalian, apa
yang harus kulakukan?" Divka kembali bertanya kepada si
Penasihat Kerajaan.

la memperbaiki posisi duduknya. Wajahnya kini dibuat
menjadi lebih serius dengan rambut hitam panjangnya
tergerai menutupi setengah wajah. Tongkat sihirnya ia
letakkan di atas meja. Akhirnya, semua orang bisa menarik
napas lega.
Si Penasihat Kerajaan pun berdiri dari kursinya dan
berjalan gagah di hadapan semua orang, lalu menerangkan
segala permasalahan kepada Divka,
"Kami mempunyai warisan yang diterima dari Sang
Baginda Raja yang baru saja wafat. Masalahnya adalah soal
membagi bongkahan berlian. Di antara harta bendanya, Sang
Baginda Raja mempunyai 36 bongkah berkan yang sangat
besar, dan ia ingin membaginya menjadi empat. Saya sendiri
mendapatkan satu sebagai tanda terima kasih Baginda atas
pengabdian saya. Sisanya yang 35 bongkah dibagi sebagai
berikut:

1.1/2 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran
Pertama.
2. 1/3 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran
Kedua.
3. 1/9 dari 35 diberikan kepada Pangeran
Ketiga."

"Lalu?" Divka yang kini sedang memerhatikan wajah
Pangeran Ketiga mengajukan pertanyaan. Sesekali ia
menyeringai kepada Pangeran Ketiga yang mengintip dari
bakk jubahnya. Seolah jubah itu ia gunakan sebagai perisai.
"Lalu, ketiga pangeran ini tidak mau membaginya
dengan adil. Hm... karena memang susah untuk dibagi
secara adil. Pangeran Pertama meminta 18 bongkah, padahal
seharusnya hanya 17,5. Pangeran Kedua meminta 12 di mana
seharusnya hanya 11,6. Dan, hal itu jelas akan merugikan
Pangeran Ketiga, yang saya yakin, seandainya ia tidak tolol
seperti ini juga akan meminta lebih!"
"Aku juga ingin lebih!" Teriak Pangeran Ketiga sambil
mengintip dari balik jubahnya.
Semua orang yang hadir di sana menatapnya dan untuk
sekali lagi mereka dengan kompak berteriak kepada Pangeran
Ketiga, "DIAAAAAAAAMMM!"

Divka tertawa geli melihat hal ini. la pun berdiri dari
kursinya dan berjalan berkeliling ruangan. Semua orang
kembali tak bersuara. Kibasan jubah, sayap, dan pakaian
hitam Divka mengeluarkan aroma harum yang sangat nikmat
seperti mawar di pagi hari. Sesekali Pangeran Pertama
mencuri pandang, berharap seandainya saja wanita langsing
berpakaian serbahitam ini bukan seorang penyihir.
"Mungkin ia sudah kujadikan permaisuri." Pikir
Pangeran Pertama.
Mendadak....
"Tok!" Demikian bunyi tongkat kayu yang mendarat
di atas kepala Pangeran Pertama, menyebabkan mahkotanya
jatuh miring menutupi mata kanannya.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak, monyet! Kamu pikir
aku mau kamu sentuh? Sekali lagi pikiranmu kotor begitu,
kamu akan aku ubah menjadi bekicot! Mengerti?" Bentak
Divka. Kebetulan ia berdiri tepat di belakang Pangeran
Pertama ketika ia melancarkan pukulan dengan telak.
Pangeran Pertama hanya tertunduk, bahkan tidak mau repotrepot
membetulkan letak mahkotanya. Ia tidak berani
berkomentar apa pun juga, apalagi berpikir untuk membalas.
Ia mencoba mengosongkan pikiran.

Divka kembali berjalan dan akhirnya kini berhadapan
langsung dengan si Penasihat Kerajaan. Mereka berdua saling
pandang beberapa detik.
"Lalu?" Tanya Penasihat Kerajaan yang mulai merasa
risi dengan pandangan tajam Divka.
"Aku bisa membantu kalian...," jawab Divka.
"Tapi ada syaratnya...," Penasihat Kerajaan menyambut
berita itu sebelum Divka sempat menuntaskan kalimatnya.

"Apa?" tanya Divka cepat sembari menyipitkan matanya
dan melemparkan pandangan tajam ke arah Si Penasihat
Kerajaan.
"Tanpa ilmu sihir!" Tegas Penasihat Kerajaan.
Divka kembali diam, berpikir keras. la berdiri lama
sambil menopangkan dagunya di atas jemari tangannya yang
lentik. Jemari yang dihias oleh berbagai cincin perak yang
terukir indah, salah satunya berbentuk kepala tengkorak
berlilit ular. Para hadirin menanti dengan penuk penasaran.

"Baik, tanpa ilmu sihir!" Katanya menyetujui.
"Dan satu lagi...," sergah Penasihat Kerajaan.
"Apa lagi?" Potong Divka.
"Tanpa ada yang dirugikan!"
"Oke... tanpa ilmu sihir dan tanpa ada yang dirugikan!"
Divka kembali mengangguk.
"Sekarang begini, saya ingin segera menuntaskannya.
Ikuti semua perintah saya. Saya ingin semua bongkahan
berlian itu dalam waktu lima menit ada di atas meja ini!"
Sentak Divka.

Lima menit kemudian 36 bongkah berlian, dengan
kilauan jernih bagaikan cermin terkena sinar matahari, sudah
terkumpul di atas meja. Para prajurit yang mengangkuti
berlian-berlian itu terkapar di atas tanah, kehabisan napas
karena harus menguras semua sisa tenaga untuk membawa
36 berlian kurang dari lima menit.

Para permaisuri tampak tidak berkedip menikmati
indahnya cahaya yang terpantul oleh lapisan-lapisan
bongkahan berlian. Beberapa di antaranya berbisik-bisik
membicarakan keindahan berlian-berlian itu, beberapa saling
sirik dan mengiri atas pembagian yang dianggap tidak adil
itu. Ketiga pangeran berdiam diri dan berpikir, mengira-ngira
apa yang akan dilakukan Divka. Si Penasihat Kerajaan
mengawasi Divka agar ia tidak berbuat curang. Dan, para
tetua kebanyakan sudah tertidur pulas di kursinya masingmasing.

"Aku akan membantu kalian dengan syarat yang kalian
minta, tidak menggunakan ilmu sihir dan tidak ada yang
dirugikan." Ucap Divka sembari meraba salah satu bongkah
berlian di atas meja tersebut.
"Namun untuk melaksanakannya, aku membutuhkan
kerendahan hati dari kamu!" Tangannya menunjuk pada
Penasihat Kerajaan.

"Maksudmu?" Tanya si Penasihat Kerajaan seraya
mengernyitkan dahi. Tangannya kembali sibuk memuntirmuntir
janggut putihnya.
"Aku harus meminjam bongkah berlianmu, dengan janji
akan aku kembalikan seutuhnya, dan kamu tidak akan
dirugikan sama sekali. Setuju?"
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?"
"Kalau begitu aku pulang saja!" Sentak Divka tak sabar.
Serentak Pangeran Pertama dan Kedua berteriak, "Hei,
yang benar dong! Penasihat macam apa kamu? Tidak mau
merelakan sebentar milikmu untuk menjaga keutuhan
kerajaan?"

Penasihat Kerajaan kembali diam, dan kemudian
mengangguk kendati di dalam hati merasa sangat kesal.
Bahkan terlintas di kepalanya bahwa membawa Divka ke
kerajaan itu bukanlah hal yang baik sama sekali. Namun,
semua sudah terjadi, kini mereka harus menunggu hasilnya
dengan pasrah.
"Baiklah! Lakukan yang menurutmu baik!"

"Nah, itu yang kutunggu dari tadi. Sekarang, semua
dengarkan kata-kataku. Aku ingin semua orang menyimak.
Pasang kuping kalian baik-baik, jangan ada sedikit pun dari
perkataanku yang teriewat. Dan, ini berlaku untuk semua
yang ada di ruangan ini!" Divka kemudian meloncat ke atas
meja. Sayapnya terkembang indah bagai kilatan bayangan
hitam, dan ia mendarat dengan begitu gemulai. Sulit
dibedakan apakah ia sekadar meloncat atau terbang ke atas
meja.

"Hm, kini kita memiliki 36 bongkah berlian. Jadi, kita
lupakan dulu kalau satu di antaranya adalah milik Penasihat
Kerajaan." Ujar Divka dengan tegas.
Semua yang hadir berdiam diri untuk mendengarkan
dengan saksama. Bahkan, Pangeran Ketiga pun kali ini
terdiam dan mengeluarkan kepalanya dari balik jubah yang
biasa menutupi wajahnya. Ia mendengarkan, walau arah
berdirinya terbalik dan membelakangi orang-orang. Rupanya
ia masih kebingungan, mencari-cari dari mana suara itu
datang

"Oke, 36 bongkah. Dan, Anda, Pangeran Pertama,
bagian sah Anda adalah setengah dari 35. Hasilnya menjadi
17,5 sedangkan Anda ingin mendapatkan 18 karena tidak
mungkin berlian itu dipotong-potong. Oleh karena itu, kini,
bila kita punya 36 maka bagianmu menjadi setengah dari
36. Kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau, yaitu 18
bongkah berlian!"
Pangeran Pertama tertawa puas. Ia merasa mendapatkan
apa yang diinginkannya, dan ia tak sabar ingin tahu siapa
yang akan menjadi tumbal bagi kerugian di akhir pembagian
itu.

Divka menengok ke arah Pangeran Kedua dan berkata,
"Pangeran Kedua, kamu menuntut sepertiga dari 35, yaitu
11,6. Dan kamu menginginkan 12. Maka, dengan adanya 36
bongkah ini, sepertiganya adalah 12. Kamu boleh
mendapatkan 12 bongkah berlian. Sejauh ini semua adil
bukan?"
Pangeran Kedua mengangguk seraya tersenyum
gembira. Namun, wajah Penasihat Kerajaan terlihat ragu,
sibuk menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. la
melipat tangannya dan tidak melepaskan pandangannya dari
Divka.

"Dan, kamu Pangeran Ketiga. Hoii! Pangeran Ketiga...
hei! Lihat sini! Hoii!"
Divka berteriak-teriak memanggil Pangeran Ketiga yang
kini sudah berjalan menjauh dari meja, masih mencari-cari
dari mana suara memanggil itu berasal.
"Eh, Penasihat Kerajaan, bisa tolong...." Divka melirik
kepada Penasihat Kerajaan dan menunjuk ke arah Pangeran
Ketiga yang kini sudah berada dekat pintu keluar.
Diperlukan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk
mengikat Pangeran Ketiga di kursinya. la tersenyum.
Akhknya, ia menemukan sumber suara itu.

"Kamu, Pangeran Ketiga yang dungu! Sepersembilan
dari 35 adalah 3,8 dan kamu akan saya beri 4, karena kita
punya 36 bongkah sekarang. Sepersembilan dari 36 adalah
4, benar begitu? Tolong mengangguk kalau mengerti." Divka
menatapnya tajam dan mengacungkan tongkat kayunya.
Pangeran Ketiga mengangguk dan menjawab, "Iya, aku
mengerti. Sekarang aku tahu kalau sejak tadi itu yang
berpidato adalah kamu. Kamu tahu tidak? Sedari tadi aku
mencari-caa... hmmmp... hmp!"

Tongkat Divka kembali berayun dan mantra ia ucapkan,
"Slapstik!" Dan, mulut Pangeran Ketiga seketika terkatup.
"Ya, sedari tadi, dong!" Pangeran Pertama berkomentar
geli melihat Pangeran Ketiga yang bingung karena mulutnya
tidak dapat dibuka. Kedua bibir menempel bagai diberi lem
super.
"Tunggu! Lalu, bagaimana dengan bagian aku?
Bukankah semua harus adil?" Buru-buru Penasihat Kerajaan
berjalan mendekati Divka yang masih berdiri di atas meja
kayu. Si Penasihat mengangkat kedua tangan untuk
mengungkapkan kebingungannya.
"Sabar, bapak tua. Aku belum selesai. Eh, ngomongngomong,
pernahkan ada yang berkomentar kalau kamu
tidak pantas memakai jubah biru?" Divka menjawab dengan
sinis.

"Kita akan menghitungnya kembali. Oke?" Lanjut
Divka. "Pangeran Pertama mendapatkan 18 bongkah,
Pangeran Kedua mendapat 12 bongkah, dan Pangeran
Ketiga mendapat 4 bongkah. Semuanya puas dan aku tidak
melihat ada satu pun dari pangeran yang mengeluh. Nah,
kini kita jumlahkan semua yang dimiliki oleh ketiga pangeran
itu: 18 + 12 + 4 = 34. Padahal di sini kita punya 36 bongkah.
Itu berarti 36 dikurangi 34 sama dengan 2. Yang satu jelas
milikmu, Penasihat Kerajaan. Dan, yang satu lagi... menjadi
milikku!"

Ia melengkungkan tubuh indahnya ke depan,
mengambil satu bongkah berlian yang paling besar lalu
tertawa dan berkata, "Selesai sudah! Semua bahagia, tidak
ada ilmu sihir, dan tidak ada yang dirugikan. Selamat malam
para tamu kerajaan sekalian! Terima kasih atas undangan
kalian hari ini. Senang berbisnis dengan orang-orang tolol
macam kalian! Ha... ha... haaaaa!"

la mendongakkan kepalanya, memejamkan mata, dan
mengangkat tangan kanannya yang sejak tadi menggenggam
tongkat sihir. Tangan kirinya menggendong sebongkah
berlian besar. Dan, sebelum orang-orang di sana sadar atas
apa yang terjadi, Divka menyebutkan satu mantra lagi,

"Acrosdares... melienasitpos!"


Kepulan asap ungu tiba-tiba keluar dari ujung
tongkatnya, dan dengan seketika menyelimuti tubuh Divka.
Seisi ruangan berkabut sehingga pandangan mata semua
yang hadir terganggu, tidak dapat melihat jelas apa yang
terjadi.
"Selamat tinggal!" Seru Divka untuk terakhir kalinya.
"KABUUM!"
Ruangan pun kembali senyap. Asap ungu yang tadi
mengepul di seantero ruangan raib entah ke mana. Yang
tertinggal hanyalah 14 permaisuri, tiga pangeran, para tenia
yang sebagian masih tertidur, Penasihat Kerajaan yang
kebingungan dan sibuk menarik-narik janggut putihnya. Di
meja kayu itu kini tersisa 35 bongkah berlian. Tidak ada yang
dirugikan.


(Cerpen ini dikutip dari buku Mantra karangan Dedy Corbuzier)


Moral cerita ini adalah betapa mudahnya manusia dimanipulasi oleh konsep psikologi dan permainan otaknya sendiri.


hal ini membuktikan kalau kekuatan pikiran sangatlah dahsyat sedahsyat blog ini. hehe. mengenai kekuatan pikiran kita akan membicarakan juga tentang komunikasi tertutama komunikasi yang berhubungan dengan otak atau sering disebut NLP dan akan saya bahas pada kategori khusus

0 Tanggapan:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Silahkan Tulis Komentar Kamu, jangan SPAM ya!

 

Tulisan yang lain

About Author

Foto saya
blogdahsyat adalah blog pribadi saya yang menyimpan gagasan,pemikiran dan hal yang terpikirkan ketika berada di internet.. :P